Jumat, 30 Desember 2011

sejarah kota jakarta


Sejarah kota jakarta
Kota Batavia lama (oud Batavia) wilayahnya tidaklah begitu luas. Dahulu, kota dikelilingi tembok dan parit. Luasnya dari daerah sekitar Menara Syahbandar di Pasar Ikan sampai Jl. Asemka - Jl. Jembatan Batu sekarang. Rencana kota Batavia ini dirancang oleh Simon Stevin atas permintaan dewan pemerintah VOC di Belanda (1618). Dalam benak JP. Coen, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga memerintahkan untuk membangun Galangan Kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko (di P.Ontrust), dua buah gereja (di dalam dan di luar benteng) dan sebuah sekolah (tidak jelas lokasinya).
Adapun pusat kotanya adalah bekas Balai Kota, kini Museum Sejarah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota lama itu diselesaikan pada 1712. Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck (1653-1713). Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balaikota kedua dari Balikota pertama yang lebih kecil serta sederhana dan didirikan pada 1620 serta hanya bertahan selama beberapa tahun.
Pada awalnya kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota selain mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, peradilan dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai "Gedung Bicara". Kemudian, Balaikota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan di samping juga digunakan sebagai pusat milisi atau schutterij dari tahun 1620 sampai 1815. Komandannya adalah ketua Dewan Kotapraja. Milisi terdiri dari jurutulis dan warga kota Belanda lain, orang Mardijker dan kompi-kompi pribumi dari suku yang berbeda. Terdapat antara lain, milisi orang Jawa, orang Bugis, orang Melayu dan orang Bali. Pos komando milisi itu ada di dalam Balaikota, dan lapangan di muka digunakan sebagai tempat latihan. Pada bulan Agustus 1816 Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah: Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balaikota ini menjadi kantor pemerintahan Propinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah kotapraja Batavia pindah ke tempatnya sekarang di Medan Merdeka Selatan di samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang. Seusai Perang Dunia II, gedung Balai Kota itu dipakai sebagai markas tentara (Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Sementara itu, bentuk kota Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1627 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal JP Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali Besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga yang tersimpan di balik tembok kuatnya.
Di seberang kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan. Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan di dalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada serta kemudian kopi serta teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer-en Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak 1632, di atas tanah urukan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini hanya air Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah, karena balok, kusen dan papan dinding dalamnya dicat merah. Rumah ini dibangun sekitar tahun 1730 oleh G.von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal. Pada abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.
Namun, pada akhir abad ke-18, citra Ratu Timur itu menurun drastis. Willard A. Hanna (Hikayat Jakarta) mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang bukan main dahsyatnya, malam tanggal 4 dan 5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut, seakan-akan mundur sedikit-dikitnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
Sebagian untuk menanggulangi masalah-masalah penyaluran air dan sebagian pula untuk membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak berwajib telah mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah selatan kota pada tahun 1732, jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah malaria, suatu bencana baru bagi penduduk kota, yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui, setidaknya di Batavia, bahwa kuman dalam air akan mati kalau air dimasak sampai mendidih, namun menurut de Haan penduduk Banjarmasin pada 1661 dan Ambon akhir abad ke-17 sudah memasak air untuk membunuh bakteri, walaupun binatang ini belum dikenal. Sejak 1744 pasien di rumah sakit diberi teh dan kopi, karena air putih sudah tercemar. Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih. Lalu tidak usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja). Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jl. Pangeran Jayawikarta (Jayakarta) dan pindah ke selatan, ke kawasan Jl. Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur secara layak. Dan, mereka pun kemudian dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Geraja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het Graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat berikutnya, sesudah 1798, banyak gedung besar di dalam kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai 'tambang batu' untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. 'Tambang batu' ini terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumahnya dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. Dan, John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan: "Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar empat puluh lima derajat garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini diperparah - delapan puluh tahun sesudah Batavia didirikan - oleh serentetan gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4 dan 5 November 1699. gempa tersebut menyebabkan terjadinya longsoran gunung, tempat pangkal sumber air ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia, bahkan tanggul-tanggulnya, penuh dengan lumpur.
Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Prancis tahun 1809 (zaman Prancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali ditimbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak kurang sehat daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek." Sementara itu, pada 9 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup. Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Niew Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (sekitar Gambir sekarang ini). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan hidup. Akankah tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.  
Sumber : BAPPEDA DKI JAKARTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar