Rabu, 01 Juni 2011

Pengaruh Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Kebijakan Industri Sektoral: Industri Telekomunikasi


Pengaruh Kebijakan Moneter dan Fiskal pada Kebijakan Industri Sektoral: Industri Telekomunikasi

Abstraksi
Kebijakan Fiskal dan Moneter adalah kebijakan yang tidak dapat berdiri sendiri akan tetapi merupakan sebuah kebijakan yang harus melakukan secara bersinergi dengan kebijakan lainnya, kebijakan tersebut terus mengalami metaformosis yang pada akhirnya bertujuan untuk menjaga tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah. Industri Telekomunikasi meskipun sedikit lebih tahan terhadap krisis finansial dunia akan tetapi kebijakan yang diambil pada kebijakan fiscal dan moneter akan banyak mempengaruhi pada tingkat investasi semua operator telekomunikasi dan juga daya beli masyarakat atau pelanggan dari Industri Telekomunikasi ini, sebab semua produk yang dihasilkan oleh industri telekomunikasi adalah untuk konsumsi dalam negeri akan tetapi semua investasi infrastrukturnya adalah impor sehingga sangat tergantung pada nilai tukar valuta asing
Dari uraian diatas telah kita kemukakan bahwa arah kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas nilai tukar mata uang (rupiah) terhadap mata uang Utama dunia, yakni Dollar, Yen dan Euro, sedangkan arah kebijakan fiscal utamanya adalah untuk menjaga tingkat inflasi pada Titik yag optimal sehingga tidak menggangu iklim investasi di Indonesia. Maka dari itu kita dapat membuat rumusan tentang pengaruh kebijakan fiscal dan moneter terhadap industry telekomunikasi di Indonesia.
Pengaruh Kebijakan Moneter
Industry telekomunikasi adalah sebuah sector yang sarat akan modal, sebagai akibat bahwa hampir semua infrastruktur yang digunakan adalah impor mengingat sector ini harus didukung oleh teknologi yang mutakhir yang didominasi oleh Negara maju sehingga ketika kita melakukan investasi di sector ini maka mau tidak mau harus menggunakan mata uang asing, untuk itu pengaruh kebijakan moneter adalah:
a) Ketika Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter gagal menjaga kestabilan nilai tukar rupiah maka beban operator atau industry telekomunikasi akan menjadi semakin berat, sebab sebagian besar modal yang dimiliki oleh operator telekomunikasi adalah dari kreditur dengan mata uang asing, untuk itu kestabilan nilai tukar rupiah menjadi sangat penting.
b) Kemudian salah satu instrument tidak langsung Bank Indonesia untuk melakukan kontroling terhadap nilai tukar rupiah adalah dengan mengatur tingkat suku bunga SBI, sehingga jika SBI dinaikkan maka suku bunga bank dalam negeri juga akan naik, selain dana asing, tidak dapat dinafikkan juga bahwa semua operator mempunyai pinjaman dalam bentuk mata uang local atau rupiah sehingga kenaikan SBI akan mempengaruhi tingkat investasi industry telekomunikasi di Indonesia.
Pengaruh Kebijakan Fiskal
Selanjutkan kebijakan fiscal tujuan Utama nya adalah untuk menjaga tingkat inflasi nasional pada level yang aman sehingga tingkat harga (pada kebutuhan pokok) dalam dijaga dalam kondisi yang terjangkau bagi masyarakat banyak. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari industry telekomunikasi terhadap kebijakan fiscal diantaranya:
a) Ketika pemerintah mampu menjaga tingkat inflasi pada kondisi yang optimal maka tingkat harga barang dalam negeri akan terjaga pada posisi yang aman bagi daya beli masyarakat, sebagai mana yang dihasilkan dari penelitian AC Nielsen diatas bahwa kebutuhan akan telekomunikasi menempati posisi keempat, sehingga jika daya beli masyarakat tetap terjaga pada tingkat yang membuat mereka selalu mampu untuk melakukan pembelian terhadap jasa telekomunikasi maka industry ini akan tetap survive meskipun semua operator melakukan perang tariff, untuk itu kebijakan fiskal mempunyai dampak yang cukup serius bagi kelangsungan investasi untuk sector industry telekomunikasi.
b) Dan jika investasi dalam sektor industri telekomunikasi tetap berlangsung maka akan menghasilkan multiplier effect yang luar biasa dari sisi berapa banyak jumlah tenaga kerja yang terserap yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada penurunan tingkat pengangguran secara nasional.
c) Kemudian ketika tingkat keuntungan operator telekomunikasi dapat dijaga maka akan memberikan pendapatan Negara yang lebih besar dari sektor pajak yang akan disetor kepada pemerintah.

Kebijakan ekonomi


Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Latar belakang
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Kajian Pengeluaran Publik
Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006, menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.